Siaran Pers No. 131/DJPT.1/KOMINFO/8/2007
BHP Telekomunikasi Diusulkan Akan Sebesar 0,50% Dari Pendapatan Kotor Telekomunikasi Setelah Dikurangi Biaya Interkoneksi dan Biaya Piutang Yang Tidak Tertagih


Dalam menerapkan tarif atas jenis PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) untuk bidang pos dan telekomunikasi, Ditjen Postel sampai saat ini masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2005 tentang Tarif Atas Jenis PNBP Yang Berlaku Pada Departemen Kominfo, yang ditanda-tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 5 Juli 2005 (dan mulai berlaku pada tanggal tersebut). Pada perkembangan berikutnya, PP No. 28 Tahun 2005 tersebut perlu disesuaikan, diganti dan atau ditambahkan karena adanya penyesuaian tarif atas PNBP di Departemen Kominfo. Sejauh ini Ditjen Postel telah cukup lama sejak beberapa waktu yang lalu cukup intensif dalam melakukan pembahasan revisi terhadap PP No, 28 Tahun 2005 tersebut dari substansi bidang pos dan telekomunikasi, karena di luar bidang pos dan telekomunikasi diatur pula untuk bidang penyiaran, sarana dan prasarana, serta pendidikan dan latihan.

Yang membedakan antara PP No. 28 Tahun 2005 dengan rancangan revisinya secara umum adalah sebagai berikut:

No.

PP 28 Tahun 2005

Rancangan Revisi

1.

Jenis PNBP yang berlaku adalah penerimaan yang berasal dari pelayanan jasa pos dan telekomunikasi.

Jenis PNBP yang berlaku adalah penerimaan yang berasal dari: penyelenggaraan pos dan telekomunikasi, penyelenggaraan penyiaran, jasa pendidikan dan pelatihan serta jasa sewa sarana dan prasarana.

2.

Tarif atas jenis PNBP Telekomunikasi dan USO tidak memperhitungkan unsur pengurang.

Tarif atas jenis PNBP Telekomunikasi dan USO dapat diperhitungkan dengan unsur yang dapat dikurangkan, yang meliputi antara lain: piutang yang nyata-nyata tidak tertagih dari penyelenggaraan telekomunikasi dan pendapatan yang diterima oleh penyelenggara telekomunikasi yang merupakan hak dari pihak lain. Seluruh unsur ini harus dapat dibuktikan dengan dokumen yang telah diaudit dan disampaikan secara tertulis.

3.

Biaya Hak Penggunaan Frekuensi (BHP) Spektrum Frekuensi Radio sesungguhnya sudah disebut juga, tetapi belum rinci karena diatur dalam Peraturan Menteri tersendiri.

Biaya Hak Penggunaan Frekuensi (BHP) Spektrum Frekuensi Radio meliputi BHP untuk Izin Stasiun Radio (ISR) atau BHP untuk Izin Pita Spektrum Frekuensi Radio (IPSFR), yang terdiri dari: biaya izin awal (up front fee) dan IPFSR tahunan.

4.

Ketentuan mengenai Pungutan atas biaya ISR diatur dalam Peraturan Menteri tersendiri.

Pungutan atas biaya ISR wajib dilunasi setiap tahun sebelum ISR diterbitkan.

5.

Pungutan atas tarif penggunaan pita spektrum frekuensi radio untuk penyelenggaraan telekomunikasi dilaksanakan pada saat penerbitan IPSFR.

Up front fee dan biaya IPSFR untuk tahun pertama wajib dilunasi sebelum IPSFR diterbitkan.

6.

Besaran biaya penugasan penguji untuk pengujian lapangan di dalam negeri atau di luar negeri tidak disebut.

Besaran biaya penugasan penguji untuk pengujian lapangan di dalam negeri atau di luar negeri dihitung berdasarkan besaran biaya perjalanan dinas dalam negeri atau luar negeri yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Biaya penugasan penguji yang dibayar oleh pemohon itu di luar biaya pengujian dan biaya sertifikasi.

7.

Standar kualitas pelayanan yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung-jawab di bidang telekomunikasi tidak disebut.

Adanya standar kualitas pelayanan yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung-jawab di bidang telekomunikasi.

8.

BHP Telekomunikasi sebesar 1% dari pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi.

BHP Telekomunikasi sebesar 0,50% dari pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi.

9.

Biaya sertifikasi alat/perangkat telekomunikasi untuk Customer Premises Equipment (CPE) Kabel sebesar Rp 1.500.000,-/sertifikat/tipe. Sedangkan untuk CPE Nirkabel Rp 3.000.000,-.

Biaya sertifikasi alat/perangkat telekomunikasi untuk Customer Premises Equipment (CPE) Kabel sebesar Rp 2.250.000,-/sertifikat/tipe. Sedangkan untuk CPE Nirkabel Rp 4.500.000,-.

10.

Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi / Universal Service Obligation sebesar 0,75% dari pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi.

Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi / Universal Service Obligation sebesar 1,25% dari pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi.

11.

Jenis sanksi dan denda atas pelanggaran pemenuhan kewajiban dari izin penyelenggaraan telekomunikasi dan atau jasa teleponi dasar tidak disebut.

Jenis sanksi dan denda atas pelanggaran pemenuhan kewajiban dari izin penyelenggaraan telekomunikasi dan atau jasa teleponi dasar, yang mencakup:

• Pencapaian pembangunan.

• Kualitas pelayanan.

• Interkoneksi.

• Penggunaan produksi dalam negeri.

• Riset dan pengembangan SDM.

• Tidak memenuhi layanan minimal yang wajib disediakan.

• Penyampaian pelaporan.

12.

Jenis denda penyelenggaraan jasa nilai tambah dan jasa multimedia tidak disebut.

Jenis denda penyelenggaraan jasa nilai tambah dan jasa multimedia, yang mencakup:

• Penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi.

• Penyelenggaraan jasa multimedia.

Menyimak dari substansinya, rancangan revisi PP tersebut, tampak jelas bahwa ruang lingkup dan konteksnya jauh lebih luas, khususnya dengan adanya penambahan aturan baru yang menyangkut sanksi dan denda, karena selama ini tidak terperinci secara jelas, baik yang terdapat pada UU Telekomunikasi, PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, PP No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, maupun Peraturan Menteri dan Peraturan Dirjen. Seandainyapun ada pengaturannya, sebagaimana tersebut pada Modern Lisencing (Izin Penyelenggaraan), maka rincian dan besaran sanksi serta denda tidak diatur secara terperinci. Diharapkan seandainya rancangan ini segera dapat disahkan, maka parameter pengaturannya sangat jelas dan terukur secara sistematis.

Untuk diketahui, bahwa rancangan revisi PP ini tidak dirumuskan secara sepihak oleh Ditjen Postel, tetapi juga dibahas bersama dengan Departemen Kominfo, Departemen Keuangan, para penyelenggara pos dan telekomunikasi serta asosiasi terkait, khususnya yang mrnyangkut substansi, jenis tarif dan besarannya. Dan yang lebih penting lagi, pada konsep awal, rancangan ini pernah dikonsultasikan kepada publik untuk memperoleh tanggapan bersama demi penyempurnaan rancangan ini sendiri (konsultasi publik semula pada tanggal 3 s/d. 9 Pebruari 2007 adalah terhadap Rancangan Peraturan Menkominfo yang mengatur tentang Sanksi dan Denda serta kemudiankonsultasi publik kembali pada tanggal 4 s/d. 14 Mei 2007 untuk Rancangan Revisi PP tentang Jenis dan Tarif Atas PNBP Yang Berlaku Pada Depkominfo). Oleh karena mengingat sebulan yang lalu pembahasan dengan komunitas postel sudah selesai berlangsung dalam suatu pertemuan khusus dalam dua hari secara marathon di Bogor, maka giliran pada awal minggu ini Ditjen Postel bersama Departemen Kominfo kembali akan mengadakan pertemuan Departemen Keuangan untuk melanjutkan kembali pembahasan terhadap rancangan ini sebelum pembahasan lebih lanjut dengan Departemen Hukum dan HAM serta Sekretariat Negara. Selessainya pembahasan rancangan revisi PP ini sangat penting, baik bagi Ditjen Postel (adanya landasan hukum lebih komprehensif dalam pengenaan tarif atas jenis PNBP Ditjen Postel), bagi penyelenggara postel (kepastian tarif dan besaran biaya yang harus disetorkan langsung ke Kas Negara berdasarkan kewajiban yang harus dipenuhi), dan bagi konsumen atau masyarakat umum (mendorong terealisasinya perlindungan konsumen secara lebih baik dari kemungkinan pelanggaran penyelenggaraan pos dan khususnya telekomunikasi).

Kepala Baian Umum dan Humas,

Gatot S. Dewa Broto

HP: 0811898504

Email: gatot_b@postel.go.id

Tel/Fax: 021.3860766

Banner `Layanan Ditjen SDPPI`
Banner `SDPPI Digital Assitant`
Banner `SDPPI Maps`
Banner `IFaS Fest 2024`