Ismail: Indonesia Sedang Hadapi Disruptive Technology

Dirjen SDPPI, Ismail (tengah) berfoto bersama Mahasiswa S2 Universitas Telkom Bandung dengan Foto Acara acara sharing bersama para mahasiswa S2 jurusan telekomunikasi Telkom University Bandung di kantor Ditjen SDPPI di Gedung Sapta Pesona, Jalan Medan Merdeka Barat 17, Jakarta, Selasa (3/4)

Jakarta (SDPPI) - Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kemkominfo mengungkapkan bahwa Indonesia sekarang sedang menghadapi era disruptive technology, dimana perkembangan TIK telah mengubah pola bisnis dan kehidupan masyarakat.

Hal itu disampaikan Dirjen SDPPI Ismail dalam acara sharing bersama para mahasiswa S2 jurusan telekomunikasi Telkom University Bandung di kantor Ditjen SDPPI di Gedung Sapta Pesona, Jalan Medan Merdeka Barat 17, Jakarta, Selasa (3/4).

“(Kementerian) Kominfo sangat luar biasa sibuknya karena sedang menghadapi isu yang sangat penting yaitu disruptive technology era yang akan mengubah proses bisnis dan pola kehidupan masyarakat.,” katanya saat menjadi narasumber utama dalam acara ini.

Ismail mengatakan, disruptive technology terjadi karena perkembangan teknologi yang sangat cepat, teknologi yang dulunya tidak ada dan tidak terbayangkan, sekarang sudah tersedia bagi masyarakat, khususnya komunikasi broadband (broadband communication). Sehingga, disruptive technology ini sudah tidak bisa dibendung lagi untuk perubahan-perubahan.

Ada lima hal yang mendukung perkembangan disruptive technology, yang oleh Ismail disingkat ABCDS, yakni artificial intelligence, block chain, cloud, big data, dan security. “Sudah tidak ada lagi kata seluler di belakang itu karena ketersediaan infrastruktur bagi dunia internasional dianggap sudah selesai dan tersedia di seluruh dunia.”

Tapi kenyataannya, beda cerita dengan Indonesia, dimana persoalan infrastruktur ini belum selesai karena pembangunan infrastruktur telekomunikasi di perbatasan, seperti di Nunukan, Atambua, Wamena, dan lain-lain sangat terlambat.

“Sebenarnya Indonesia ini punya beban karena di dunia Internasional khususnya negara maju pre-request-nya sudah selesai, kita belum jika bicara Indonesia. Namun Jika bicara Bandung dan Jakarta mungkin sudah,” jelas Ismail.

Pembangunan broadband ICT, lanjut Ismail, sangat berguna untuk negara, sebagai contoh Korea Selatan, yang pada 1998 terpuruk akibat krisis, sekarang menjadi negara dengan kecepatan internet tercepat Asia bahkan dunia karena setelah krisis mereka dengan cepat berinvestasi pada jaringan broadband.

Berbeda dengan negara maju, Indonesia mengandalkan pelaku usaha atau operator seluler untuk membangun infrastruktur telekomunikasi dan pengembangannya, sehingga pemerintah tidak perlu mengeluarkan uang, katanya.

Di sisi lain, kata Ismail, dalam hal regulasi, undang-undang yang mendukung telekomunikasi di Indonesia baru tersedia UU ITE dan UU Telekomunikasi. Kedepan akan ada UU Perlindungan Data Pribadi yang sekarang sedang dibahas pemerintah bersama DPR.

Sementara dosen pendamping yang hadir dalam sharing bersama Dirjen SDPPI ini Ahmad Tri Hanuranto (Direktur Endowment dan Alumni), dalam sambutannya mengatakan bahwa kegiatan “kuliah” seperti ini merupakan hal yang baru bagi mahasiswa S2 jurusan telekomunikasi Telkom University yang membahas soal regulasi telekomunikasi di Indonesia.

Kegiatan yang diikuti 13 mahasiswa dan seorang dosen pendamping ini diharapkan akan menginspirasi mahasiswa dalam penulisan tesis nanti. Para mahasiswa antusias dalam sesi tanya jawab dengan Ditjen SDPPI dan sebagian menanyakan mengenai percepatan pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia.

Kegiatan sharing ini diakhiri dengan foto bersama dan pemberian cindera mata untuk Dirjen SDPPI dari dosen dan mahasiswa Telkom University.

Sumber/Foto : iwan/rst

Banner `Layanan Ditjen SDPPI`
Banner `SDPPI Digital Assitant`
Banner `SDPPI Maps`
Banner `IFaS Fest 2023`